Need help for Individual or Corporate TAX ? Please contact 0815-8222454, LENA

Friday, August 3, 2012

Bullying = Ranting dari Senioritas

"haters don't really hate you
they hate themselves because you're a reflection of what they wish to be." (TheSingleWoman)
Sepekan terakhir berita bullying sedang marak. Agak heran sih, kenapa kok hits nya baru sekarang padahal aksi model ini sudah ada dari jaman enyak-babe. Jawabannya, kebetulan si tersangka lagi ketimpa sial karena keluarga korban termasuk pihak yang berani melaporkan kasus yang umumnya dianggap sepele ini ke polisi. Yap, digarisbawahi ya 'umumnya dianggap sepele' baik oleh para siswa maupun ibu bapak-guru yang selalu menasihatkan murid untuk berbuat baik kepada sesama. (Helloo?! -_-.). Lucunya, diberitakan kalau KPAI keberatan dengan penahan 7 orang tersangka pelaku bullying ini. (Huh, I can smell bunch of money here). 

Setelah cukup lama memakan asam garam kehidupan dunia pendidikan (jiahh), saya melihat tindak bullying salah satu satunya dipicu oleh budaya senioritas (ada juga sih faktor lainnya, tapi di indonesia yang paling ng-tren ya faktor yang satu ini. kalau di jepang lebih aneh-aneh lagi bahkan sampai penyebab yang tidak rasionalpun juga ada, silahkan gugling 'ijime'). Kenapa sih, senioritas bisa ada? Darimana sih datangnya senioritas? Sejak kapan senioritas ada? Dan kenapa bisa bertahan lama hingga membudaya? Baiklah, saya pribadi juga bertanya-tanya tentang ini, (gak nolong banget ya, hehe). Jika diijinkan untuk langsung menjawab, simpel sih jawabannya (tapi nyebelin), yaitu karena semua orang pernah merasakan kenikmatan menjadi senior. Mungkin bagi yang tidak merasa menikmati, bukannya tidak mau mengaku tetapi hanya tidak sadar (jangan marah ya, hehe).
Setiap senior pasti awalnya adalah seorang junior, termasuk si pelaku bully. Junior yang terlalu banyak tekanan dari seniornya cenderung melepaskan emosinya yang sudah menumpuk ketika beranjak senior dan melakukan 'tembakan' senioritas ke junior berikutnya, nah bentuk 'tembakan' ini salah satunya ialah bullying. Sebetulnya ini kurang adil ya, mestinya kalau mau balas dendam ya silahkan ditujukan ke orang yang bersangkutan, bukan ke generasi berikutnya. Senioritas memunculkan beragam modus bullying, misalnya karena sirik dengan junior yang lebih cantik (dikhawatirkan berpotensi jadi pesaing merebut hati gebetan), atau sirik dengan junior yang lebih tajir (dikhawatirkan jadi pesaing guiness book of record 'who the most rich among us'). 

Senioritas tidak berhenti di sekolah namun juga berlanjut di kampus bahkan di lingkungan kerja. (Oh iya, senioritas juga ada di dalam lingkungan keluarga). Untuk senioritas di tempat kerja umumnya karena faktor usia pengalaman dan rasa 'gue lebih tau dari elu', (bersyukurlah kalau dapet kantor yang budayanya gak saling sirik kalau achievement anak baru lebih gede daripada yang udah 5 tahun kerja di situ,haha). Lalu bagaimana dengan di kampus? Senioritas di kampus umumnya tidak begitu menonjol dan hanya dipamerkan ketika masa orientasi, mungkin sekitar satu minggu (tapi ada juga kampus yang ospeknya sampai 3 bulan, hehe) dan prosesnya tergantung dari budaya kampus dan jurusannya. Senioritas di kampus tidak terlalu strict karena si senior juga enggan untuk menambah episode sinetronnya  mengingat adanya kemungkinan mereka tidak lulus di satu mata kuliah sehingga menjadi setara dengan junior (whoooaa...buat yang gak pernah ngalamain ini, boleh bangga bro! haha). Nah, kalau ada junior yang tanya sama saya, "Kak, ada gak jurusan-jurusan tertentu di sini yang menerapkan budaya senioritas tanpa henti alias sampai lulus?", jawabannya, "Ada banget". Mengenai hal itu lebih jitu kalau research langsung mulai dari sapaan yang digunakan, pembagian tugas saat ada kegiatan dan lain-lain.

Ketika menonton berita bullying yang sedang hits itu saya jadi bertanya pada diri sendiri, "Gw pernah gak ya nge-bully orang?", dan untungnya saya sadar kalau jawabannya, "Pernah". Setahun lalu saya menegur anak baru di kosan (tentunya dengan muka yang bukan seperti mau menegur, hehe) karena sudah seminggu do'i sejak ngekos di sebelah kamar saya, tiap jam 3-5 subuh pasang musik volume kopaja dan menelpon pacarnya dengan volume suara yang menembus kamar sebelah (baca: TOA). Saat itu saya tidak merasa senioritas karena teguran yang saya lakukan punya alasan mendasar. Lalu saya berpikir lagi, "Andaikan dia itu bukan anak baru kosan dan usianya lebih tua dari saya, kira-kira saya berani tidak ya menegur dengan cara demikian?, "Kalau saya ada di posisi dia, bagaimana ya rasanya dihadapkan dengan teguran yang keras seperti itu?". Kesimpulan saya sih, kalau tidak mau diperlakukan tidak baik ya tidak perlu melakukan hal yang tidak baik pula kepada orang lain. Simpel bukan?

Cepat atau lambat berita bully ini segera berlalu dan selalu ada harapan untuk terjadi perubahan bukan pembiaran. Senioritas di institusi pendidikan lambat laun akan menjadi bom waktu bagi sekolah itu sendiri. Orientasi siswa lebih baik menekankan pada hubungan kekerabatan dengan warga sekolah dan pengenalan akademis sekolah. Untuk adik-adik yang masih sekolah, better pikirin bagaimana cara ngalahin nilai raport si ranking satu daripada pusing pikirin makian buat ngalahin junior, oke :).















No comments:

Post a Comment