Di
kampus ada dosen laki-laki yang selalu memberikan nilai A kepada setiap
mahasiswanya. Kalaupun ada yang dapet A-, itu pasti karena itu anak tidak ikut
salah satu ujian uas atau uts. Dosen ini nampaknya sudah lewat 40th
tapi belum sampai 50th, tinggi, beruban, agak gemuk, boleh dibilang
wajahnya mirip orang Pakistan.
Sebetulnya aura si dosen ini galak, mengingat pembawaannya yang bongsor dan
intonasi suaranya mirip komandan perang tapi itu semua hanya casing luar. Sebut saja nama dosen ini
ialah Mr. Mos. Setiap semester, kelas yang diajarin dosen ini pasti penuh
bahkan waiting list, mengingat adanya
jaminan bright future di cetakan
transkrip nilai. Masalah terjadi ketika mahasiswa menghadapi hari pertama tatap
muka di kelas, bagi mahasiswa yang berani duduk paling depan, kemungkinan dia
baru pertama kali mengikuti kelas si dosen. Pasalnya, selain hobi makan
martabak kubang di margonda, Mr.Mos juga hobi menjadikan mahasiswa barisan depan
sebagai contoh kasus dalam kuliah. Kasusnya bukan kasus serius, tapi kasus
sangat serius karena berkaitan dengan urat malu si korban. Kasus yang dipaparkan
cenderung masalah nasional. Untuk urusan nasionalisme, Mr. Mos pantas diacungin
jempol. Karena apa? Karena ringtone
handphonenya adalah reff lagu ‘Indonesia Raya’.
Mr.
Mos termasuk angin-anginan untuk urusan ujian. Menurut cerita anak jurusan
lain, Mr. Mos selalu memberikan ujian writing-test di kelas tetapi entah
kenapa, di kelas jurusan saya, do’i selalu ngasih ujian takehomepaper. Mungkin saya beruntung, tapi ujian gak ujian
sama-sama bahagia di akhir semester kok! Minggu lalu ada temen yang kebetulan
sama-sama lagi ada di kosan, (bedanya, kalau saya di kosan karna pengangguran,
tapi klo do’i karna lagi jomblo…#ehh). Dia pernah ikut kelas Mr. Mos dan hari
itu adalah hari ujian akhir semester. Ujian jam 9 tapi Mr. Mos tak kunjung datang sampai akhirnya jam 11
ketua kelas nelpon dia.
Kt.Kelas : “ Halo Pak, hari ini kita jadi ujian gak,
Pak?